Sebuah perjalanan yang sungguh menyenangkan pada hari kamis,
17 juli 2014 ketika kami tim delta api berkunjung sekaligus bersilahturahmi ke
teman-teman delta api yang ada di Gili Air. Hal yang pertama kami lakukan
adalah bertamu dan ngobrol-ngobrol ringan di kafe milik Atak yang merupakan
salah satu personal delta api Gili Air, yaitu ngobrol-ngobrol biasa
bertemakan disekitaran apa yang terjadi di Gili Air. Kami yang terdiri dari, saya sendiri, Dennar, mas Wawan,
Tari, Mahni, Supiyani, Atak, Bayu merupakan orang-orang lumayan peduli akan
peramasalahan yang terjadi di Gili Air, nih ceritanya hehehehe.
Permasalahan utama
yang diceritakan dan membuat sesak di hati adalah permasalahan lahan yang
menurut warga asli Gili Air, sudah tidak memiliki kepimilikan lahan milik pribadi. Lahan-lahan
yang dimiliki secara turun menurun telah dijual, diakibatkan oleh terhimpitnya
kepentingan ekonomi keluarga. Lahan lebih banyak terjual kepada investor
baik investor asing maupun lokal. Yang terjadi selanjutnya, semua lahan
pemiliki warga lokal telah disulap menjadi bangunan pariwisata seperti hotel,
kafe, restauran, kolam renang dan lain-lain. Selain itu berpindahnya mata
pencaharian masyarakat lokal yang awalnya rata-rata nelayan, namun adanya
bantuan keramba dari dinas kelautan dan perikanan, membuat masyarakat berhenti
diperbolehkan melaut, dan akhirnya mereka menjadi pedagang, guide, bahkan berpindah
tempat mencari pekerjaan di pulau lombok. Masyarakat tidak mempunyai pilihan lain kecuali menjual
tanah mereka dan membuka usaha lain yang tidak sesuai dengan basic keterampilan
yang dimilikinya sendiri.
Selain itu ketiadaan aturan yang jelas dalam kebijakan dalam
perencaaan terutama rencana tata ruang bangunan lingkungan (RTBL) maupun tata
ruang kawasan yang peduli pada kepentingan masyarakat lokal. Artinya keberadaan
permukiman penduduk makin tergeserkan, disebabkan adanya bangunan baru, membuat
permukiman penduduk lokal terlihat kumuh dan tidak beraturan. Ketiadaan perhatian kepentingan masyarakat
lokal baik secara fisik, ekonomi, sosial dan budaya membuat masyarakat lokal merasakan
kegielisahan hidup di Gili Air.
Kini….di desa sendiri sudah tidak nyaman lagi. Desa
kelahiran, desa tempat tumbuh kembang kehidupan sudah dimiliki oleh para
pendatang. Ironis bukan??…..rumahku bukan surgaku, sebaliknya rumahku surganya
orang lain, dan banyak masyarakat lokal Gili air pindah dan berkehidupan di
pulau Lombok. Selamat tinggal Gili Indah, engkau hanya bagian dari masa lalu bukan
masa depan, ucap mereka….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar