Kamis, 14 Agustus 2014

Sumba dan Bali....i love it....

Biarkan saya bercerita tentang kebahagian yang saya rasakan ketika saya berperan sebagai fasilitator mengajar di pulau Bali dan di pulau Sumba. Saya jadi teringat akan mimpi-mimpi saya dimasa lampau akan pengembaraan saya di negeri orang lain nantinta. Pada saat itu pula saya bermimpi menjadi guru di desa terpencil.  Namun di tahun 2013 tepatnya bulan November entah mengapa Tuhan mewujudkan mimpi–mimpi saya saat itu. Inilah wujudnya yaitu berperan  sebagai tenaga pengajar mengenai pemetaan sosial dari salah satu desa di Sumba dan Bali. Saya tidak akan menceritakan materi ajar yang saya ajarkan,namun kesenangan akan pengalaman baru yang sebelumnya tidak saya pernah saya rasakan selama hidup saya.
Pengalaman pertama adalah di Sumba.

“ Gilaaaaaaa, besok saya ke Sumba sis”…..terlontar ketika saya menelpon sahabat saya yang sekarang ia telah meninggalkan saya dan menghilang entah kemana saya tidak tahu.  Sumba membuat saya kembali teringat dengan almarhum pak Galih dosen saya ketika s1 14tahun yang lalu. Dulu beliau memberikan materi kuliah tentang arsitektur nusantara, yang slide materi kuliah tersebut menerbitkan permukiman perumahan desa Sumba. Saya pun tercengang saat itu. Dan saya ingat betul kata-kata dalam hati tentang “kapankah saya ke Sumba ya Allah”.  Luar biasanya lagi sekarang ini saya berada di Sumba mengajar dan melatih pemuda-pemuda di Sumba tentang desa pesisir ekologis, tangguh dan adaptif terhadap perubahan iklim yang disingkat dengan ECV (Eco Climate Village). Sedikit bercerita tentang ECV, adalah konsep pengembangan desa pesisir yang berbasis adatif perubahan iklim.  Latar belakang munculnya ECV disebabkan banyak sekali desa-desa yang sudah tidak bisa membaca perubahan iklim sehingga tanpa disadari bencana alam menyerang mereka secara tiba-tiba. Untuk mengantisipasi kekhawatiran akibat dari perubahan iklim maka saya sebagai fasilitator dengan sukarewalan membantu teman-teman pemuda desa Di Sumba memahami apa itu perubahan iklim dan bagaimana membangun mimpi desa mereka sendiri berdasarkan perubahan-perubahan iklim yang akan terjadi nantinya. Yang ada hanya ucap alhamdulillah dan sujud syukur dikarenakan tanpa disadari mimpi-mimpi yang terucap dalam hari itu tiba-tiba terwujudkan oleh Allah SWT. Luar biasa engkau Tuhan ucapku tak henti-hentinya.
 Pengalaman kedua adalah di Bali
Sama halnya yang ada di Bali tidak ada bedanya, hanya lokasinya saja yang berbeda, namun peran saya sebagai tenaga pengajar tetap sama. Yang membedakan tampak jelas dari spirit pemuda yang ada di Bali yang jauh lebih energik dan bersemangat dibandingkan pemuda yang ada di Sumba. Mungkin disebabkan SDM dan akses informasi yang menjadikan para pemuda yang ada di Bali menjadi demikian. Bali tidak begitu menantang bagi saya, baik secara lokasi maupun kepintaran dari pesertanya dalam memahami materi apa yang disampaikan oleh saya. Hal ini sebabkan Bali lebih maju dari segi pembangunan fisik, ekonomi, sosial dan budaya dibandingkan pemuda yang di Sumba yang masih minim dibandingkan di Bali.
Bali dan sumba membuat banyak hikmah dalam kehidupan saya sampai sekarang. Hikmah yang terbesar adalah ketika melihat keinginan masyarakat desa dalam hal ini pemuda desa mau membangun mimpi desa mereka dengan antusias. Bagi mereka hanya dengan “kemajuan” dibidang apapun membuat mereka tidak merasa tertinggal dan merasa terjajah secara kultural. Harus bangkit, menentukan pilihan sendiri demi kemajuan desa.  Akhirnya saya pun membuat motivisi baru dalam hidup saya bahwa saya harus terus belajar, belajar tentang banyak hal, tentang desa, tentang pesisir, tetnang perencanaan dan lebih harus dipelajari adalah tentang bagaimana semua ini membuat saya makin dekat dengan sang pencipta dan membuat saya lebih bermanfaat untuk orang lain. Amiiiin…..
Salam delta api untukmu kawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar