Kamis, 14 Agustus 2014

Nyawen Dusun Lekok



Cerita lain lagi adalah cerita di sore hari (4 agustus 2014)  tentang perayaan Nyawen alias selametan pantai yang diselenggarakan oleh masyarakat Lekok.  Jujur sejujurnya inilah pertama kalinya saya melihat upacara nyawen . Upacara yang sangat sederhana diselenggarakan di pinggir pantai Lekok merupakan hari kegembiraan bagi masyarakat Lekok seluruhnya, dikarenakan acara ini dilakukan sekali dalam setahun
yaitu di lebaran topat. Acara ini dihadiri oleh bupati, kades, kadus, masyarakat lekok dan kami dari teman-teman delta api. Inti dari perayaan nyawen adalah bersyukur terhadap Allah SWT dan senantiasa meminta keberkahan atas hidup ini terutama bagi nelayan yang selalu berharap kesuseksan hidup dalam melaut. Prosesi dilakukan dengan berzikir, menabur bunga dan diakhiri makan berjemaah yang sudah disiapkan oleh kaum perempuan dalam hal ini adalah para ibu-ibu rumah tangga dan remaja putri Lekok. Hikmah yang diperoleh dari acara ini bagi saya pribadi adalah ketika nilai kebersamaan itu diikat terus dalam batin di setiap individu yang diritualkan secara bersama-sama lalu diturunkan ke anak cucu secara bersama-sama, maka paham individualisme yang disuntik oleh para kapitalisme tidak akan mempan masuk ke dalam masyarakat Lekok apalagi masyarakat Indonesia seluruhnya. Pertanyaannya adalah masihkah ada rasa kebersamaan itu di dalam hati kita?? Hehehe

Akhirnya kita keliling lombok anak anakku….

Bertambah lagi kebahagiaan yang mamak rasakan sebagai orang tua adalah ketika mamak bisa mengajak kalian berkeliling Lombok. Tepatnya 2 agustus 2014 kita dengan tante Afifah, tante Salsa, Safira, dan nenek Yuyun beserta mobil kijang putih kita yang selalu menemani kita kemana kita pergi berkeliling pulau Lombok. Awalnya ide ini terpikirkan ketika seseorang teman berkata “ apa, mamaknya saja yang suka jalan-jalan”, tek…terketuk hati mamak, padahal sesungguhnya bukan maksud menyindir, tapi itu kenyataannya, jika
mamak jarang membawa kalian bepergian jalan-jalan dengan jarak yang cukup jauh, maafkan mamak ya nak. Mamak dikondisikan pada sebuah tugas/pekerjaan yang mengharuskan mamak sepertinya terkesan jalan-jalan. Namun terlepas dari itu semua, berjalan-jalan dengan kalian anak-anakku, itu lebih menyenangkan dari perjalanan mamak sebelum-sebelumnya. Perjalanan yang penuh canda lebih-lebih ketika kalian bertanya tentang hewan-hewan yang ada di hutan, apa itu gunung, ketika kita melewati jalan menuju Sembalun. Dan teramat lucu, ketika melewati jalan Pusuk, celetuk kakak Fiqri yang mamak masih ingat sampe sekarang yaitu “mak, kenapa monyet yang ada di Sembalun lebih gemuk, gondrong, tidak rapi dan menyeramkan dibandingkan monyet yang ada di Pusuk yang lebih kurus ramping, dan tidak gondrong?”, lalu mamak menjawab “semua dikarenakan modernisasi anak-anakku, kalau di Sembalun monyet-monyetnya lebih berkarakter desa, sedangkan kalau di Pusuk sudah berkarakter kota,  yang lebih memperhatikan penampilan, sudah mulai makan roti, es krem, dan sudah mau pake kacamata supaya dibilang keren”…..hahahah riuh tertawa kami bersama. Tahukah kalian inilah puncak kebahagiaan yang terbesar di dalam hati mamak. Doakanlah untuk mamak dan mamiq agar senantiasa bisa membawamu berjalan-jalan kemana kalian ingin pergi.  Salam mentari pagi untuk anak mamak yang ganteng-ganteng. Love you…..

Sumba dan Bali....i love it....

Biarkan saya bercerita tentang kebahagian yang saya rasakan ketika saya berperan sebagai fasilitator mengajar di pulau Bali dan di pulau Sumba. Saya jadi teringat akan mimpi-mimpi saya dimasa lampau akan pengembaraan saya di negeri orang lain nantinta. Pada saat itu pula saya bermimpi menjadi guru di desa terpencil.  Namun di tahun 2013 tepatnya bulan November entah mengapa Tuhan mewujudkan mimpi–mimpi saya saat itu. Inilah wujudnya yaitu berperan  sebagai tenaga pengajar mengenai pemetaan sosial dari salah satu desa di Sumba dan Bali. Saya tidak akan menceritakan materi ajar yang saya ajarkan,namun kesenangan akan pengalaman baru yang sebelumnya tidak saya pernah saya rasakan selama hidup saya.
Pengalaman pertama adalah di Sumba.

“ Gilaaaaaaa, besok saya ke Sumba sis”…..terlontar ketika saya menelpon sahabat saya yang sekarang ia telah meninggalkan saya dan menghilang entah kemana saya tidak tahu.  Sumba membuat saya kembali teringat dengan almarhum pak Galih dosen saya ketika s1 14tahun yang lalu. Dulu beliau memberikan materi kuliah tentang arsitektur nusantara, yang slide materi kuliah tersebut menerbitkan permukiman perumahan desa Sumba. Saya pun tercengang saat itu. Dan saya ingat betul kata-kata dalam hati tentang “kapankah saya ke Sumba ya Allah”.  Luar biasanya lagi sekarang ini saya berada di Sumba mengajar dan melatih pemuda-pemuda di Sumba tentang desa pesisir ekologis, tangguh dan adaptif terhadap perubahan iklim yang disingkat dengan ECV (Eco Climate Village). Sedikit bercerita tentang ECV, adalah konsep pengembangan desa pesisir yang berbasis adatif perubahan iklim.  Latar belakang munculnya ECV disebabkan banyak sekali desa-desa yang sudah tidak bisa membaca perubahan iklim sehingga tanpa disadari bencana alam menyerang mereka secara tiba-tiba. Untuk mengantisipasi kekhawatiran akibat dari perubahan iklim maka saya sebagai fasilitator dengan sukarewalan membantu teman-teman pemuda desa Di Sumba memahami apa itu perubahan iklim dan bagaimana membangun mimpi desa mereka sendiri berdasarkan perubahan-perubahan iklim yang akan terjadi nantinya. Yang ada hanya ucap alhamdulillah dan sujud syukur dikarenakan tanpa disadari mimpi-mimpi yang terucap dalam hari itu tiba-tiba terwujudkan oleh Allah SWT. Luar biasa engkau Tuhan ucapku tak henti-hentinya.
 Pengalaman kedua adalah di Bali
Sama halnya yang ada di Bali tidak ada bedanya, hanya lokasinya saja yang berbeda, namun peran saya sebagai tenaga pengajar tetap sama. Yang membedakan tampak jelas dari spirit pemuda yang ada di Bali yang jauh lebih energik dan bersemangat dibandingkan pemuda yang ada di Sumba. Mungkin disebabkan SDM dan akses informasi yang menjadikan para pemuda yang ada di Bali menjadi demikian. Bali tidak begitu menantang bagi saya, baik secara lokasi maupun kepintaran dari pesertanya dalam memahami materi apa yang disampaikan oleh saya. Hal ini sebabkan Bali lebih maju dari segi pembangunan fisik, ekonomi, sosial dan budaya dibandingkan pemuda yang di Sumba yang masih minim dibandingkan di Bali.
Bali dan sumba membuat banyak hikmah dalam kehidupan saya sampai sekarang. Hikmah yang terbesar adalah ketika melihat keinginan masyarakat desa dalam hal ini pemuda desa mau membangun mimpi desa mereka dengan antusias. Bagi mereka hanya dengan “kemajuan” dibidang apapun membuat mereka tidak merasa tertinggal dan merasa terjajah secara kultural. Harus bangkit, menentukan pilihan sendiri demi kemajuan desa.  Akhirnya saya pun membuat motivisi baru dalam hidup saya bahwa saya harus terus belajar, belajar tentang banyak hal, tentang desa, tentang pesisir, tetnang perencanaan dan lebih harus dipelajari adalah tentang bagaimana semua ini membuat saya makin dekat dengan sang pencipta dan membuat saya lebih bermanfaat untuk orang lain. Amiiiin…..
Salam delta api untukmu kawan

Ada Apa dengan Gili Air Pulau yang Indah itu

Sebuah perjalanan yang sungguh menyenangkan pada hari kamis, 17 juli 2014 ketika kami tim delta api berkunjung sekaligus bersilahturahmi ke teman-teman delta api yang ada di Gili Air. Hal yang pertama kami lakukan adalah bertamu dan ngobrol-ngobrol ringan di kafe milik Atak yang merupakan salah satu personal  delta api  Gili Air, yaitu ngobrol-ngobrol biasa bertemakan disekitaran apa yang terjadi di Gili Air. Kami yang  terdiri dari, saya sendiri, Dennar, mas Wawan, Tari, Mahni, Supiyani, Atak, Bayu merupakan orang-orang lumayan peduli akan peramasalahan yang terjadi di Gili Air, nih ceritanya hehehehe.
 Permasalahan utama yang diceritakan dan membuat sesak di hati adalah permasalahan lahan yang menurut warga asli Gili Air, sudah tidak memiliki  kepimilikan lahan milik pribadi. Lahan-lahan yang dimiliki secara turun menurun telah dijual, diakibatkan oleh  terhimpitnya  kepentingan ekonomi keluarga. Lahan lebih banyak terjual kepada investor baik investor asing maupun lokal. Yang terjadi selanjutnya, semua lahan pemiliki warga lokal telah disulap menjadi bangunan pariwisata seperti hotel, kafe, restauran, kolam renang dan lain-lain. Selain itu berpindahnya mata pencaharian masyarakat lokal yang awalnya rata-rata nelayan, namun adanya bantuan keramba dari dinas kelautan dan perikanan, membuat masyarakat berhenti diperbolehkan melaut, dan akhirnya mereka  menjadi pedagang, guide, bahkan berpindah tempat mencari pekerjaan di pulau lombok. Masyarakat  tidak mempunyai pilihan lain kecuali menjual tanah mereka dan membuka usaha lain yang tidak sesuai dengan basic keterampilan yang dimilikinya sendiri.
Selain itu ketiadaan aturan yang jelas dalam kebijakan dalam perencaaan terutama rencana tata ruang bangunan lingkungan (RTBL) maupun tata ruang kawasan yang peduli pada kepentingan masyarakat lokal. Artinya keberadaan permukiman penduduk makin tergeserkan, disebabkan adanya bangunan baru, membuat permukiman penduduk lokal terlihat kumuh dan tidak beraturan.  Ketiadaan perhatian kepentingan masyarakat lokal baik secara fisik, ekonomi, sosial dan budaya membuat masyarakat lokal merasakan kegielisahan hidup di Gili Air.

Kini….di desa sendiri sudah tidak nyaman lagi. Desa kelahiran, desa tempat tumbuh kembang kehidupan sudah dimiliki oleh para pendatang. Ironis bukan??…..rumahku bukan surgaku, sebaliknya rumahku surganya orang lain, dan banyak masyarakat lokal Gili air pindah dan berkehidupan di pulau Lombok. Selamat tinggal Gili Indah, engkau hanya bagian dari masa lalu bukan masa depan, ucap mereka….

“jelek-jelek karya sendiri, nikmati sendiri” itu sudah WoW rasanya….

Tak disangka ketika buku “ Membangun Mimpi Desa” Pengembangan Model Eco climate Village (ECV) akhirnya terbit juga di bulan Maret 2014. Bukan senang lagi yang saya rasakan di hati, namun kebanggaan dalam diri dikarenakan impian punya karya akhirnya tercapai juga. Karya yang diperoleh dari hasil perjalanan mengikuti pendampingan masyarakat membuat inspirasi untuk membuat tulisan dan buku tentang bagaimana masyarakat desa khususnya pemuda yang ada di Lekok dapat membuat masterplan/ perencaaan desa secara partisipatif sehingga dapat dipresentasikan di depan Bupati dan SKPD lainnya. Dari perjalanan ini bagi saya sangat penting untuk saya dekumentasi dalam bentuk buku.
Awalnya iseng-iseng, ketika tidak ada yang dikerjakan ditengah malam. Yang teringiang di kepala selalu saat itu, laporan Lekok belum jadi, dan belum dirapikan. Maka iseng-iseng tanpa ada target untuk mendapatkan honor atau pujian, akhirnya malam-malam menjadi teman sejati dalam pembuatan laporan dan ujung-ujungnya menjadi buku ini.
Mungkin sudah takdir dan impian terwujudkan, dengan bangga buku ini saya upload di fb. Alhamdulillah respon dan respect teman-teman, serta peminat buku lumayan banyak. Bahkan dari seluruh indonesia banyak yang memesan.
Namun sedikit kekecewaan mengahantarkan pembuatan buku ini, yaitu ketika buku ini dibaca ulang ternyata banyak ketikan penulisan yang salah, dikarenakan penerbit salah mengirim file ketika mencetak buku ini. Yang ada secarik kerta errata permohonan maklum atas kesalahan ketikan penulisan yang ada di buku ini. Meskipun demikian esensi buku ini tidak berkurang, terbukti banyak yang menerima manfaat dan hikmah dari buku ini.

Alhasil….yang lebih mengesankan dan menggugah perasaan dan haru biru ialah ketika mahasiswa menggunakan buku ini dalam penulisan skripsi sehingga nama buku pun terlampir dalam daftar pustaka….hehhehehehe bangga,bangga, bangga….alhamdulillah, semoga di tahun yang sama serta tahun berikutnya punya karya lagi. Nah kalau begitu bbm, fb dan bermain-main yang tidak ada manfaatnya dikurangi ya bu liza….hahahhha…..amiiiinnnnnnn….

Jika Ingin menjadi Planner yang Baik, Harus Mengerti tentang Alam

Sehari sebelum puasa ramadhan 1435H, kami melakukkan tracking bersama ke air terjun Tiyu Teja. Tujuan dari tracking ini sebenarnya untuk mendekatkan saya dengan mahasiswa semester dua yang menurut dosen-dosen lainnya jika mereka susah diatur, termasuk menurut persepsi saya juga. Saya pernah kecewa, dikarenakan mereka tidak memperhatikan saya sebagai dosen ketika memberi materi kuliah, lalu
saya pergi, dan 2 minggu saya off untuk mengajar mereka sampai mereka meminta maaf terhadap saya, dan memohon untuk saya mengajar mereka kembali. Untuk lebih mengakrabkan diri terhadap mereka, lalu saya mempunyai ide untuk tracking bersama. Kebetulan saya memegang mata kuliah pengembangan masyarakat, jadi dalam upaya mengembangkan masyarakat, maka mereka harus mengerti bagaimana kondisi masyarakat yang sesungguhnya. Alasan ini saya manfaatkan untuk mengajak mereka berjalan-jalan untuk mengerti alam dan masyarakat. Namun  hakekat dari perjalanan ini bagi saya pribadi adalah  perjalanan mendekatkan diri dengan alam itu sendiri, sehingga saya paham jika alam adalah bagian dari hidup saya yang harus saya lestarikan. Dengan alam lestari saya masih bisa hirup udara segar, , saya masih bisa mandi pakai air bersih, dan yang paling penting saya masih menikmati pemandangan indah bersama anak-anak saya dikarenakan alam masih lestari. Akankah kelestarian alam ini akan dihabiskan oleh perencanaan kota dan desa oleh perencana dengan terbentangnya jalan, jembatan, permukiman perumahan, pembangunan sarana kota yang tidak berbasis kelestarian alam yang mereka akan rencanakan nantinya. Lestarikan alam, hanya celoteh belaka, kata Iwan Fals, bagaimana tidak???? Plannerny asaja tidak pernah tracking, tidak pernah paham apa itu alam lestari, planner tidak pernah mengerti hakekat kenapa alam hadir bersama manusia di bumi dari sang pencipta….jawabannya mari kita tracking bersama kembali. Salam lestari……