"Gus bisakah kita memulai untuk mengerjakan rencana kita tentang cerpen "Wina" yang ingin sekali kau kerjakan dulu itu. Aku penasaran dari cerita itu" kataku."Akh mbak Liza, tulisanku jelek...narasinya masih banyak harus aku perbaiki, artinya aku masih malu untuk membuat cerpen tentang "Wina". "alah...aku teringat dengan kata Gus Mus. Jika ingin menulis, maka menulislah, menulis bisa kapan saja, tentang apa saja, menulis itu eskpresi kebebasan pemikiran seseorang, karena itu aku ingin kau menulis tanpa harus aku paksa". "Baiklah mbak...ntar mbak edit kembali jika tidak sesuai sistematika penulisannya". "Gak ah, Aku tak akan mengubah sedikit apapun karena aku ingin apa yang engkau tulis itu tidak lain memang hasil karyamu sendiri, jadi biarlah mengalir senatural mungkin.okey???". Entah mengapa tiba-tiba dua lembar tulisan berbentuk word terkirim di inbox facebookku. Terimakasih Gus ucapku langsung lewat sms. Akhirnya WINA pun tercipta.
Saat itu aku sedang duduk di rerumputan
bersama kawan2ku dan ku bersandarkan pohon kelapa yang tegak berdiri. Kebetulan
aku sedang menunggu antrian untuk makan siang. Tiba2 ada anak perempuan kecil
bertelanjang kaki dengan muka kusut menawarkan es lilinnya kepadaku. Pertama
kali kulihat aku agak malas melihatnya karena dia mepet2 aku. Apalagi saat
kulihat ada bisul bernanah di pergelangan tangannya. Ada perasaan risih di
hatiku. Tapi yah apa boleh buat akhirnya aku beli juga es lilinya saat dia dengan
gigih menawarkannya padaku. Hitung2 buat nolongin dia..
Aku coba minum es lilin itu yang cuma
seharga 500 perak saja. heemm..aku coba yang rasa kacang ijo...kok enak ya ? Akhirnya
aku beli 3000 perak buat kawan2ku yang keliatannya kehausan juga sehabis makan.
Lumayanlah buat penyegar tenggorokan sehabis makan saat di tepi pantai.
Lalu aku bergegas menuju tempat makan. Karena ku
lihat antrian makan juga sudah agak longgar. Ku ambil makan secukupnya, tapi
yang ku suka adalah sate ikannya. Nikmat pokoknya. Kubawa sepiring nasi ke
tikar yang digelar di pojok dekat perahu.
Saat kumakan sendiri tiba2 serombongan
perempuan kecil datang beramai-ramai mendekatiku duduk di tikar itu. Ternyata
mereka juga sedang menikmati sepiring nasi dan sayurnya. Yang ku herankan
adalah 1 piring nasi itu di habiskan oleh 5-6 anak itu ! Aku kaget, rupanya
kebersamaan mereka menggugahku untuk sedikit memberikan laukku kepada mereka.
Setelah itu ada seorang peserta
perempuan peserta Taksa yang datang mendekat ke kami, entahlah aku tidak tahu
siapa dia. Yang pasti di lehernya menggelantung seikat rangkaian bunga sebagai
tanda penhormatan warga saat masuk ke kampung Lekok tadi. Tiba2 datang si Winda
dan menarik2 rangkaian bunga tadi. Oleh si perempuan itu diberikanlah rangkaian
bunga tadi kepada Winda. Winda senang kegirangan menerimanya. Dia pegang2 terus
bunga itu seperti mendapatkan rejeki nomplok dan seolah tak ingin dilepaskan. Dan
dia pakai bunga itu dikalungkan di lehernya.
Tapi entah bagaimana dan apa sebabnya, Winda melepaskan
rangkaian bunga itu. Dia menaruhnya di samping tempat dudukku. Anak2 perempuan
yang sedang makan di depanku tiba2 bersorak ketika winda datang mendekat. Ah
rupanya mereka menggodain Winda. Agaknya anak2 itu kurang begitu suka terhadap
kehadiran Winda. Saat itu ku tanyakan kepada mereka, mengapa mereka kurang suka
terhadap Winda ? Mereka menjawab bahwa Winda agak begini, sambil telunjuk
tangannya di tempelkan miring di jidatnya...ah, mengapa begitu ?
Lekok, siang menjelang makan. Di pinggir
pantai yang penuh dengan cinta.
Nah, untuk memecah kekakuan akhirnya,
aku membeli beberapa es lilin milik Winda dan ku bagikan kepada anak2 itu. Sambil
aku nasehati mereka supaya jangan suka mengejek Winda karena itu hal yang tidak
baik. Dan akupun berikan pengertian ke mereka jika Winda anak yang baik karena
dia mau membantu ibunya berjualan es Lilin.
Di sisi tempat yang laindi pinggir
pesisir Pantai Lekok, sebuah tenda didirikan untuk tempat kami berkumpul dan
berdiskusi. Panitia lewat pengeras suara menghimbau kepada para peserta yang
sudah makan untuk segera menuju tenda pertemuan. Karena aku termasuk peserta
terakhir yang selesai makan, ya terpaksa sekali harus segera menyudahi waktu
makanku dan meninggalkan anak2 dan Winda. Segera ku bergegas menuju tenda itu.
Angin pantai di bawah rindangnya pohon kelapa
membuat para peserta keasyikan. Karena aku datang belakangan maka dengan
terpaksa aku duduk di belakang bersama dengan kawan2 yang lain. Tidak ada tikar
untuk sekedar duduk yang membuatku mengambil papan tripleks tipis dari dalam
tasku sebagai tempat menaruh pantatku ini.
Pasir pantai yang jadi tempat dudukku
rupanya memberi kesenangan pada anak2 yang ada di sampingku. Mereka bermain
pasir, membuatnya menjadi sebuah bentuk untuk mewujudkan imajinasi mereka. Ada yang
membuat lubang, ada yang membuat denah mirip sebuah rumah, ada yang membuat
gedung bertingkat..ah pokoknya macem-macem deh. Tergantung kesukaan mereka apa.
Tapi
tentu saja anak perempuan lebih suka membuat hal-hal yang serba feminin. Beda
dengan anak laki-laki yang kadang-kadang suka usil dengan merusak hasil karya
kawan perempuannya. Kalau yang anak perempuan misalnya membuat ruang tamu dimana
di situ di bentuk ada meja kursinya. Tapi di atas meja ada bunganya. Bunga itu
mereka petik dari tanaman merambat yang ada dan tumbuh di pinggir pantai.
Bunganya menarik, berwarna putih tapi ada warna ungu kebiru2an. Persis dengan
bunga yang di kalungkan ke peserta Taksa tadi yang di minta oleh Winda.
Ah..asyik banget rupanya mereka.
Aku jadi teringat pada masa kecilku dulu.
bermain pasir sama seperti mereka tapi bukan di pantai, di samping rumah
kebetulan adalah tempat orang jual pasir. Disitulah aku bermain, meski kadang2
mata ini kelilipan karena kemasukan pasir.
Aku terusik dengan kegiatan mereka. sungguh asyik
melihat mereka bermain pasir. Tapi bagaiman caranya ya agar aku bisa masuk ke
dunia mereka tanpa aku harus mengganggu mereka ? Heeemmmmm...aku jadi ingat dengan
rangkaian bunga "milik" Winda tadi.
Maka
aku bergegas menuju tikar tempat makanku tadi untuk mengambil bunga yang masih
tergeletak di tikar. Maka aku serahkan rangkaian bunga tadi ke anak-anak tadi.
Mereka bersorak ketika bunga itu kuserahkan. Satu persatu bunga itu di lepas
dari benang yang mengikatnya. Di tata sedemikian rupa menghiasi mainan pasir
buatan mereka. Bunga-bunga itu alangkah indahnya di rangkai oleh kepolosan
anak2 itu. Hati merekalah yang sebenarnya berbicara. Ada yang membentuk mirip
gunung, ada yang mirip denah ruang tamu, ada yang membuat taman indah. Ah
alangkah cantiknya hasil karya mereka.
Tetapi aku agak terkesima melihat sisi yang
lain ketika sekumpulan anak2 membuat sebuah karya yang menurutku sangat luar
biasa. Ya, mereka membuat sebuah bentuk yang terbuat dari pasir dan di atsnya
di beri hiasan bunga dan membentuk sebuah karya yaitu LOVE !.
Tapitaukah apa yg terjadi pada winda ketika
anak-anak tadi dengan keceriaannya membentuk simbol cinta dengan bunga itu
? Ya di dekat sebuah batang pipa pralon
yang membentang di tanah tak jauh dari anak-anak itu bermain, si Winda malah
dengan asyiknya bermain sendiri dengan pasir, daun, bunga dan selembar papan
tripleks tipis sebagai alas yang ternyata itu adalah kepunyaan saya yang saya
cari-cari tadi. Entahlah apa yg ada di benaknya. Dia tidak menyadari bahwa
rangkaian bunga miliknya telah menjadi sesuatu yang berharga buat anak-anak yang
lain. Dia juga tidak menyadari bahwa simbol cinta yg dibuat oleh anak2 itu
sangat di nanti, di harapkan dan di muliakan oleh kita sebagai manusia, yaitu
CINTA.
Lihatlah
ini menggambarkan hal yang nyata. Lihatlah bunga itu, Winda mencari bunga itu sendiri,
sedangkan rangkaian bunga miliknya malah jadi milik kawan-kawannya. Dia menyendiri
agak menjauh dari kawannya. Dia menyadari akan kondisinya...kasian anak itu.
Tapi tahuka kamu hal sebenarnya yang terjadi ? Ya Windalah yang sebenarnya memberi
inspirasi nyata bagi kawan-kawannya di pesisir Lekok . Dan kawannya tidak
menyadari sepenuhnya apa yang telah terjadi.
Taukah apa yang bisa kita petik dari apa
yg di lakukan oleh Winda dan anak-anak itu? Pertama, yang pasti Winda
mengajarkan kepada kita bahwa dalam kondisi terbatas secara fisik, sebenarnya
dia tidak kalah dengan kawan-kawannya. Di saat kawan-kawannya cuma bermain-main
saja, tp dia melakukan hal yang sebaliknya yaitu mampu mencari uang untuk
membantu meringankan ibunya.
Yang kedua, kita belajar dari anak-anak
itu. Mereka begitu lugu, sederhana dan penuh kepolosan ketika melakukan
sesuatu. Tidak ada orang dewasa yang mengajari mereka. Akan tetapi mereka telah
mengajari kita tentang cinta melalui bunga-bunga yang di tata di atas pasir dan
membentuk simbol cinta. Anak-anak itu tidak tahu dari mana sebenarnya asal dari
rangkaian bunga yang saya berikan tadi. Mereka tidak tahu kalo sebenarnya rangkaian
bunga tadi adalah milik Winda, sang penjual es lilin itu.
Lalu apa yg bisa kita lakukan dgn
kondisi fisik, kepandaian dan kemampuan kita yg ternyata jauh di atas Winda ? Apakah
kita akan berdiam diri saja ? Apakah kita akan lelah menghadapi kehidupan ini ?
Apakah kita tidak malu dengan Winda sang penjual es lilin itu
Lihatlah Winda, dia telah menjadi lilin
kecil yang menerangi sekitarnya meski sebagai lilin itu dia harus mengorbankan
dirinya sendiri. Winda juga tidak menyadari bahwa sebenarnya dia lebih
membutuhkan lilin-lilin besar itu untuk menerangi kehidupannya. Yah, karena
keterbatasan fisik dan mentalnya itu membuatnya tidak lebih baik dari kawan-kawannya.Ttapi
dia tidak mengeluh meski yang terjadi kadan-kadang kawannya itu sendiri an
mengucilkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar