Rabu, 30 Oktober 2013

Wina oleh Bagus Priyana dan Liza Hani Saroya Wardi


"Gus bisakah kita memulai untuk mengerjakan rencana kita tentang cerpen "Wina" yang ingin sekali kau kerjakan dulu itu. Aku penasaran dari cerita itu" kataku."Akh mbak Liza, tulisanku jelek...narasinya masih banyak harus aku perbaiki, artinya aku masih malu untuk membuat cerpen tentang "Wina". "alah...aku teringat dengan kata Gus Mus. Jika ingin menulis, maka menulislah, menulis bisa kapan saja, tentang apa saja, menulis itu eskpresi kebebasan pemikiran seseorang, karena itu aku ingin kau menulis tanpa harus aku paksa". "Baiklah mbak...ntar mbak edit kembali jika tidak sesuai sistematika penulisannya". "Gak ah, Aku tak akan mengubah sedikit apapun karena aku ingin apa yang engkau tulis itu tidak lain memang hasil karyamu sendiri, jadi biarlah mengalir senatural mungkin.okey???". Entah mengapa tiba-tiba dua lembar tulisan berbentuk word terkirim di inbox facebookku. Terimakasih Gus ucapku langsung lewat sms. Akhirnya  WINA pun tercipta.


Saat itu aku sedang duduk di rerumputan bersama kawan2ku dan ku bersandarkan pohon kelapa yang tegak berdiri. Kebetulan aku sedang menunggu antrian untuk makan siang. Tiba2 ada anak perempuan kecil bertelanjang kaki dengan muka kusut menawarkan es lilinnya kepadaku. Pertama kali kulihat aku agak malas melihatnya karena dia mepet2 aku. Apalagi saat kulihat ada bisul bernanah di pergelangan tangannya. Ada perasaan risih di hatiku. Tapi yah apa boleh buat akhirnya aku beli juga es lilinya saat dia dengan gigih menawarkannya padaku. Hitung2 buat nolongin dia..
Aku coba minum es lilin itu yang cuma seharga 500 perak saja. heemm..aku coba yang rasa kacang ijo...kok enak ya ? Akhirnya aku beli 3000 perak buat kawan2ku yang keliatannya kehausan juga sehabis makan. Lumayanlah buat penyegar tenggorokan sehabis makan saat di tepi pantai.
Lalu aku bergegas menuju tempat makan. Karena ku lihat antrian makan juga sudah agak longgar. Ku ambil makan secukupnya, tapi yang ku suka adalah sate ikannya. Nikmat pokoknya. Kubawa sepiring nasi ke tikar yang digelar di pojok dekat perahu.
Saat kumakan sendiri tiba2 serombongan perempuan kecil datang beramai-ramai mendekatiku duduk di tikar itu. Ternyata mereka juga sedang menikmati sepiring nasi dan sayurnya. Yang ku herankan adalah 1 piring nasi itu di habiskan oleh 5-6 anak itu ! Aku kaget, rupanya kebersamaan mereka menggugahku untuk sedikit memberikan laukku kepada mereka.
Setelah itu ada seorang peserta perempuan peserta Taksa yang datang mendekat ke kami, entahlah aku tidak tahu siapa dia. Yang pasti di lehernya menggelantung seikat rangkaian bunga sebagai tanda penhormatan warga saat masuk ke kampung Lekok tadi. Tiba2 datang si Winda dan menarik2 rangkaian bunga tadi. Oleh si perempuan itu diberikanlah rangkaian bunga tadi kepada Winda. Winda senang kegirangan menerimanya. Dia pegang2 terus bunga itu seperti mendapatkan rejeki nomplok dan seolah tak ingin dilepaskan. Dan dia pakai bunga itu dikalungkan di lehernya.
 Tapi entah bagaimana dan apa sebabnya, Winda melepaskan rangkaian bunga itu. Dia menaruhnya di samping tempat dudukku. Anak2 perempuan yang sedang makan di depanku tiba2 bersorak ketika winda datang mendekat. Ah rupanya mereka menggodain Winda. Agaknya anak2 itu kurang begitu suka terhadap kehadiran Winda. Saat itu ku tanyakan kepada mereka, mengapa mereka kurang suka terhadap Winda ? Mereka menjawab bahwa Winda agak begini, sambil telunjuk tangannya di tempelkan miring di jidatnya...ah, mengapa begitu ?
Lekok, siang menjelang makan. Di pinggir pantai yang penuh dengan cinta.

Nah, untuk memecah kekakuan akhirnya, aku membeli beberapa es lilin milik Winda dan ku bagikan kepada anak2 itu. Sambil aku nasehati mereka supaya jangan suka mengejek Winda karena itu hal yang tidak baik. Dan akupun berikan pengertian ke mereka jika Winda anak yang baik karena dia mau membantu ibunya berjualan es Lilin.
Di sisi tempat yang laindi pinggir pesisir Pantai Lekok, sebuah tenda didirikan untuk tempat kami berkumpul dan berdiskusi. Panitia lewat pengeras suara menghimbau kepada para peserta yang sudah makan untuk segera menuju tenda pertemuan. Karena aku termasuk peserta terakhir yang selesai makan, ya terpaksa sekali harus segera menyudahi waktu makanku dan meninggalkan anak2 dan Winda. Segera ku bergegas menuju tenda itu.
 Angin pantai di bawah rindangnya pohon kelapa membuat para peserta keasyikan. Karena aku datang belakangan maka dengan terpaksa aku duduk di belakang bersama dengan kawan2 yang lain. Tidak ada tikar untuk sekedar duduk yang membuatku mengambil papan tripleks tipis dari dalam tasku sebagai tempat menaruh pantatku ini.

Pasir pantai yang jadi tempat dudukku rupanya memberi kesenangan pada anak2 yang ada di sampingku. Mereka bermain pasir, membuatnya menjadi sebuah bentuk untuk mewujudkan imajinasi mereka. Ada yang membuat lubang, ada yang membuat denah mirip sebuah rumah, ada yang membuat gedung bertingkat..ah pokoknya macem-macem deh. Tergantung kesukaan mereka apa.
 Tapi tentu saja anak perempuan lebih suka membuat hal-hal yang serba feminin. Beda dengan anak laki-laki yang kadang-kadang suka usil dengan merusak hasil karya kawan perempuannya. Kalau yang anak perempuan misalnya membuat ruang tamu dimana di situ di bentuk ada meja kursinya. Tapi di atas meja ada bunganya. Bunga itu mereka petik dari tanaman merambat yang ada dan tumbuh di pinggir pantai. Bunganya menarik, berwarna putih tapi ada warna ungu kebiru2an. Persis dengan bunga yang di kalungkan ke peserta Taksa tadi yang di minta oleh Winda. Ah..asyik banget rupanya mereka.
 Aku jadi teringat pada masa kecilku dulu. bermain pasir sama seperti mereka tapi bukan di pantai, di samping rumah kebetulan adalah tempat orang jual pasir. Disitulah aku bermain, meski kadang2 mata ini kelilipan karena kemasukan pasir.
Aku terusik dengan kegiatan mereka. sungguh asyik melihat mereka bermain pasir. Tapi bagaiman caranya ya agar aku bisa masuk ke dunia mereka tanpa aku harus mengganggu mereka ? Heeemmmmm...aku jadi ingat dengan rangkaian bunga "milik" Winda tadi.
 Maka aku bergegas menuju tikar tempat makanku tadi untuk mengambil bunga yang masih tergeletak di tikar. Maka aku serahkan rangkaian bunga tadi ke anak-anak tadi. Mereka bersorak ketika bunga itu kuserahkan. Satu persatu bunga itu di lepas dari benang yang mengikatnya. Di tata sedemikian rupa menghiasi mainan pasir buatan mereka. Bunga-bunga itu alangkah indahnya di rangkai oleh kepolosan anak2 itu. Hati merekalah yang sebenarnya berbicara. Ada yang membentuk mirip gunung, ada yang mirip denah ruang tamu, ada yang membuat taman indah. Ah alangkah cantiknya hasil karya mereka.
 Tetapi aku agak terkesima melihat sisi yang lain ketika sekumpulan anak2 membuat sebuah karya yang menurutku sangat luar biasa. Ya, mereka membuat sebuah bentuk yang terbuat dari pasir dan di atsnya di beri hiasan bunga dan membentuk sebuah karya yaitu LOVE !.
Tapitaukah apa yg terjadi pada winda ketika anak-anak tadi dengan keceriaannya membentuk simbol cinta dengan bunga itu ?  Ya di dekat sebuah batang pipa pralon yang membentang di tanah tak jauh dari anak-anak itu bermain, si Winda malah dengan asyiknya bermain sendiri dengan pasir, daun, bunga dan selembar papan tripleks tipis sebagai alas yang ternyata itu adalah kepunyaan saya yang saya cari-cari tadi. Entahlah apa yg ada di benaknya. Dia tidak menyadari bahwa rangkaian bunga miliknya telah menjadi sesuatu yang berharga buat anak-anak yang lain. Dia juga tidak menyadari bahwa simbol cinta yg dibuat oleh anak2 itu sangat di nanti, di harapkan dan di muliakan oleh kita sebagai manusia, yaitu CINTA.

Lihatlah ini menggambarkan hal yang nyata. Lihatlah bunga itu, Winda mencari bunga itu sendiri, sedangkan rangkaian bunga miliknya malah jadi milik kawan-kawannya. Dia menyendiri agak menjauh dari kawannya. Dia menyadari akan kondisinya...kasian anak itu. Tapi tahuka kamu hal sebenarnya yang terjadi ? Ya Windalah yang sebenarnya memberi inspirasi nyata bagi kawan-kawannya di pesisir Lekok . Dan kawannya tidak menyadari sepenuhnya apa yang telah terjadi.
Taukah apa yang bisa kita petik dari apa yg di lakukan oleh Winda dan anak-anak itu? Pertama, yang pasti Winda mengajarkan kepada kita bahwa dalam kondisi terbatas secara fisik, sebenarnya dia tidak kalah dengan kawan-kawannya. Di saat kawan-kawannya cuma bermain-main saja, tp dia melakukan hal yang sebaliknya yaitu mampu mencari uang untuk membantu meringankan ibunya.
Yang kedua, kita belajar dari anak-anak itu. Mereka begitu lugu, sederhana dan penuh kepolosan ketika melakukan sesuatu. Tidak ada orang dewasa yang mengajari mereka. Akan tetapi mereka telah mengajari kita tentang cinta melalui bunga-bunga yang di tata di atas pasir dan membentuk simbol cinta. Anak-anak itu tidak tahu dari mana sebenarnya asal dari rangkaian bunga yang saya berikan tadi. Mereka tidak tahu kalo sebenarnya rangkaian bunga tadi adalah milik Winda, sang penjual es lilin itu.

Lalu apa yg bisa kita lakukan dgn kondisi fisik, kepandaian dan kemampuan kita yg ternyata jauh di atas Winda ? Apakah kita akan berdiam diri saja ? Apakah kita akan lelah menghadapi kehidupan ini ? Apakah kita tidak malu dengan Winda sang penjual es lilin itu 
Lihatlah Winda, dia telah menjadi lilin kecil yang menerangi sekitarnya meski sebagai lilin itu dia harus mengorbankan dirinya sendiri. Winda juga tidak menyadari bahwa sebenarnya dia lebih membutuhkan lilin-lilin besar itu untuk menerangi kehidupannya. Yah, karena keterbatasan fisik dan mentalnya itu membuatnya tidak lebih baik dari kawan-kawannya.Ttapi dia tidak mengeluh meski yang terjadi kadan-kadang kawannya itu sendiri an mengucilkannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar