Senin, 09 September 2013

Sedikit Bercerita tentang Karang Bajo


Tidak gampang dan mudah untuk menemukan komunitas adat  suatu desa di kepulauan nusantara Indonesia. Umumnya desa yang ditemukan adalah desa yang telah melepaskan baju kesederhanaannya, adat istiadatnya dalam mengikuti perkembangan zaman. Perkembangan desa saat ini telah mengubah tampilan fisik wajah desa dari yang tradisonal menjadi semi modern bahkan modern, sehingga lupa menampilkan ciri kekhasaan yang dimiliki desa tersebut, akibatnya kurang menariknya untuk diambil hikmah jika berkunjung ke desa yang berbaju modern tersebut.
Berbicara tentang kekhasan yang dimiliki oleh desa, dari hasil pengamatan jalan-jalan keliling pulau Lombok, saya telah menemukan satu desa yang asyik dengan kekhasaannya sebagai desa adat, yang mana tampilan fisik wajah desa yang masih menggunakan bahan alam pada bahan bangunan di permukiman  desa tersebut. Selain itu pola hidup yang taat pada persepsi nenek moyang di masa lampau masih dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Desa yang unik ini diberi nama desa Karang Bajo.
 Sejarah Karang Bajo konon berasal dari suku Sulewesi yang berlayar dan menepi di Labuan Carik, sehingga orang itulah yang mencukupi mukim tersebut dan orang itu pun tak menolak dan diberi tempat tinggal sesuai dengan tempat tinggal yang lainnya dan memiliki nama, tempat ini juga harus diberi nama yakni Karang Bajo hingga sekarang nama itu digunakan untuk menamakan gubuk atau desa didalamnya, orang itupun tinggal disana hingga memiliki keturunan. Dikarenakan Karna orang tersebut merupakan suku pesisir hingga ia pindah dari karang bajo,karna kurang terbiasa dengan suasana semasam itu agak bersekatan dengan lereng gunung rinjani, iapun memutuskan unutk pindah. Ke pinggiran pantai ,yang sekarang desa tersebut di sebut Kampung telagabagek. Yang sampai saat ini kampung itu juga masih utuh sampai sekarang. (Santiri, 2011).
                Ciri khas yang dimiliki oleh Karang Bajo adalah rumah adat yang masih terawat dibatasi dengan pagar bambo dan memiliki nama tersendiri. Rumah adat ditempati oleh para tokoh pranata adat setempat, seperti kiyai, lebe, pemangku, pembekel dan mak lokaq (tetua). Rumah adat yang disebut kampu ini tidak sembarang orang dapat memasuki kecuali dalam acara-acara tertentu dan mendapatkan izin dari pemangku atau melokaknya. Untuk dapat masuk di wilayah kampu ini harus mempergunakan pakaian adat dengan melepas pakaian dalam kita pergunakan untuk menghormati kesucian dan kesakralannya (Santiri, 2011).
Hasil wawancara dengan pemangku desa disana masih banyak ritual adat yang masih dilakukan antara lain :
1.       Maulid Adat yang dilaksanakan setiap tahun pada bulan Rabiul Awal di masjid kuno Bayan;
2.       Ngaponin, acara pencucian pusaka benda-benda bersejarah milik leluhur;
3.       Lebaran adat, yang dilaksanakan setiap tahun akhir puasa;
4.       Asuh Prusa, prosesi ritual pergantian mangku perumbaq (ketua adat), dll;
Dari empat ritual adat di atas, masih banyak acara ritual yang bertahan dan tetap dilaksanakan di desa Karang Bajo. Hanya saja tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Desa adat ini sangat cocok untuk dijadikan lokasi penelitian, terutama di bidang kearifan lokal sebagai upaya  pelestarian kawasan desa adat di Pulau Lombok. Dan tak kalah penting, sekembalinya dari kunjungan desa Karang Bajo setidaknya dapat mengambil hikmah tentang ketulusan jiwa atas usaha mempertahankan "adat istiadat" yang mereka jalankan ditengah glamournya zaman yang galau ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar