Tidak
gampang dan mudah untuk menemukan komunitas adat suatu desa di
kepulauan nusantara Indonesia. Umumnya desa yang ditemukan adalah desa yang telah
melepaskan baju kesederhanaannya, adat istiadatnya dalam mengikuti perkembangan
zaman. Perkembangan desa saat ini telah mengubah tampilan fisik wajah desa dari
yang tradisonal menjadi semi modern bahkan modern, sehingga lupa menampilkan ciri
kekhasaan yang dimiliki desa tersebut, akibatnya kurang menariknya untuk
diambil hikmah jika berkunjung ke desa yang berbaju modern tersebut.
Berbicara
tentang kekhasan yang dimiliki oleh desa, dari hasil pengamatan
jalan-jalan keliling pulau Lombok, saya telah menemukan satu desa yang asyik
dengan kekhasaannya sebagai desa adat, yang mana tampilan fisik
wajah desa yang masih menggunakan bahan alam pada bahan bangunan
di permukiman desa tersebut. Selain itu
pola hidup yang taat pada persepsi nenek moyang di masa lampau masih
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Desa yang unik ini diberi nama desa
Karang Bajo.
Sejarah Karang Bajo konon berasal dari suku
Sulewesi yang berlayar dan menepi di Labuan Carik, sehingga orang itulah yang
mencukupi mukim tersebut dan orang itu pun tak menolak dan diberi tempat tinggal
sesuai dengan tempat tinggal yang lainnya dan memiliki nama, tempat ini juga
harus diberi nama yakni Karang Bajo hingga sekarang nama itu digunakan untuk
menamakan gubuk atau desa didalamnya, orang itupun tinggal disana hingga
memiliki keturunan. Dikarenakan Karna orang tersebut merupakan suku pesisir
hingga ia pindah dari karang bajo,karna kurang terbiasa dengan suasana semasam
itu agak bersekatan dengan lereng gunung rinjani, iapun memutuskan unutk
pindah. Ke pinggiran pantai ,yang sekarang desa tersebut
di sebut Kampung telagabagek. Yang sampai saat ini kampung itu juga masih utuh
sampai sekarang. (Santiri, 2011).
Ciri khas yang dimiliki oleh Karang
Bajo adalah rumah adat yang masih terawat dibatasi dengan pagar bambo dan
memiliki nama tersendiri. Rumah adat ditempati oleh para tokoh pranata adat
setempat, seperti kiyai, lebe, pemangku, pembekel dan mak lokaq (tetua). Rumah adat
yang disebut kampu ini tidak sembarang orang dapat memasuki kecuali dalam
acara-acara tertentu dan mendapatkan izin dari pemangku atau melokaknya. Untuk dapat
masuk di wilayah kampu ini harus mempergunakan pakaian adat dengan melepas
pakaian dalam kita pergunakan untuk menghormati kesucian dan kesakralannya
(Santiri, 2011).
Hasil wawancara
dengan pemangku desa disana masih banyak ritual adat yang masih dilakukan
antara lain :
1.
Maulid Adat yang dilaksanakan setiap tahun pada
bulan Rabiul Awal di masjid kuno Bayan;
2.
Ngaponin, acara pencucian pusaka benda-benda bersejarah
milik leluhur;
3.
Lebaran adat, yang dilaksanakan setiap tahun
akhir puasa;
4.
Asuh Prusa, prosesi ritual pergantian mangku
perumbaq (ketua adat), dll;
Dari empat
ritual adat di atas, masih banyak acara ritual yang bertahan dan tetap
dilaksanakan di desa Karang Bajo. Hanya saja tidak bisa saya sebutkan satu
persatu. Desa adat ini sangat cocok untuk dijadikan lokasi penelitian, terutama
di bidang kearifan lokal sebagai upaya pelestarian kawasan desa adat di Pulau Lombok. Dan tak kalah penting, sekembalinya dari kunjungan desa Karang Bajo setidaknya dapat mengambil hikmah tentang ketulusan jiwa atas usaha mempertahankan "adat istiadat" yang mereka jalankan ditengah glamournya zaman yang galau ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar